Salam, perkenalkan saya Rif'atunnisa, author dari famotiva. Sahabat semua pasti pernah mendengar
istilah ini “Lebih baik mencegah dari pada mengobati”. Pasti yang terlintas
pertama kali dari arti kalimat itu adalah persoalan obat dan pencegahan
penyakit kan? Hayoo siapa yang begitu:D
Istilah “Lebih
baik mencegah daripada mengobati” memang pas untuk kasus diatas, namun secara
garis besar lebih baik mencegah juga sesuai bila dikaitkan dengan hal lain.
Misalnya saja mencegah konten hoax. Ya, hoax.
Sahabat semua
pasti sudah familiar dengan si Hoax ini bukan? Hoax yang terdiri dari empat
huruf ini bukanlah kata biasa, tapi dia memiliki efek samping yang luar biasa.
Ya, si hoax ini
memiliki kemampuan yang powerful.
Akibat kekuatannya, ia bisa memecah belah persatuan, bisa melahirkan korban
yang terzalimi (karena tak tahu apa-apa) tapi terlanjur difitnah, ia juga bisa
membuat orang mudah untuk menjudge
(menghakimi) secara sepihak tanpa tahu kebenarannya. Tak main-main bahkan hoax
bisa membuat seseorang harus tinggal dibalik jeruji besi.
Dan pastinya, antara
sadar ataupun tak sadar, kita mungkin pernah menjadi bagian dari korban atau
pelaku dari menyebarnya hoax atau lebih akrab dikenal dengan informasi palsu. Entah
informasi tersebut beredar di dunia cetak atau digital. Baik itu pada sosial
media atau situs-situs di internet.
Entah bagaimana
asal muasalnya, hawa panas yang dibawa oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab
membuat kasus hoax terus mengalami peningkatan. Dikutip dari laman CNN
Indonesia menyebutkan bahwa Komenterian pimpinan Rudiantara itu mencatat
peningkatan situs bohong terjadi sejak Oktober sampai pertengahan Desember
2016. (CNN Indonesia, 2016)
Tak cukup dengan
menyebar hoax disana-sini, konten-konten yang mengandung unsur kebencian,
provokasi, pornografi serta SARA juga meningkat tajam. Anehnya kebanyakan dari
kita justru dengan mudahnya terpancing dan gegabah dalam bertindak. Contohnya saat
menemukan berita-berita di sosial media dengan mudahnya percaya. Meski kondisi
saat itu belum tuntas membaca informasinya. Namun tergesa untuk menekan tombol
share. Berharap orang lain mengetahui beritanya juga.
Sayang sungguh
sayang, tindakan ceroboh seperti itu justru sering terjadi. Sampai-sampai
pemerintah mengalami kesulitan dalam meneliti situs-situs yang mengandung hoax
untuk diblokir. Kasus hoax itu sendiri dilansir dari JawaPos.com mulai mencuat
ke permukaan dunia informasi pada Pilgub 2012 dan dilanjut pada Pilpres 2014.
(JawaPos.com, 2017)
Melihat
kasus-kasus diatas, disini saya akan memuat tulisan tentang peranan serta cara
yang perlu dan harus kita semua lakukan untuk menumpas, mencegah atau
setidaknya meminimalisir berita-berita hoax yang telah merajelela dan merusak
pola pikir serta kehidupan sosial kita.
Lantas siapa
saja yang berperan dan konsep seperti apa saja yang perlu dilakukan untuk
mencegah konten hoax? Berikut uraiannya.
Peran utama ada
pada diri kita. Ya setiap diri kita memiliki tanggung jawab untuk mencegah,
menolak dan menghentikan hoax atau berita palsu yang ada. Apa yang perlu kita
lakukan? Yang perlu dilakukan pertama kali adalah selalu budayakan membaca
sampai tuntas. Sampai habis. Sampai selesai. Artinya jangan biasakan membaca
konten, berita atau informasi hanya setengah-setengah. Misal hanya membaca
judul saja. Karena membaca sekilas dari judul yang tertera sudah membuat anda
penasaran dan terpancing jadilah anda mempercayainya lantas tergesa-gesa untuk
menyebarkannya.
Ketika kita
membiasakan untuk selalu membaca sampai tuntas alias tidak loncat sana-sini,
kita akan lebih teliti dalam mencermati konten yang ada. Kendatipun kita
menemukan konten yang sejenisnya kita akan paham bahwa informasi dari yang satu
dan yang lain memiliki perbedaan yang jelas. Misal yang satu bernada provokasi,
satunya hanya berita dan informasi saja.
Tak cukup dengan
membudayakan membaca sampai tuntas. Kita juga tidak boleh tergesa dalam
menyebarkan suatu berita yang kita sendiri pun terkadang tidak yakin akan
kebenaran informasinya. Lalu imbangi kembali sikap tidak tergesa itu dengan
selalu cek dan ricek segala bentuk informasi baik yang berupa tulisan, gambar,
video, berita, dll. Karena salah saja dalam bertindak, kitalah yang akan
menanggung resikonya.
Dengan demikian,
kita akan lebih cermat, teliti dan tegas dalam menyikapi informasi yang kita
dapatkan. Sehingga tidak gegabah ataupun mudah terhasut oleh berita yang tak
jelas asal usul serta kevalidannya.
Selanjutnya
adalah peran keluarga. Terutama bagi anda yang menjadi orang tua, lakukanlah
edukasi serta pemantauan terhadap gadget dan sosial media yang digunakan
anak-anak. Menurut laporan dari APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia) sepanjang tahun 2017 lebih dari setengah penduduk Indonesia telah
menggunakan internet dalam kehidupannya. Dengan persentase lebih dari 50
artinya ada kurang lebih 143 juta pengguna internet di Indonesia. Dan sekitar
separuhnya para pengguna internet adalah anak muda hingga dewasa. Dari yang
berusia belasan tahun hingga puluhan.
Tak heran,
pembekalan smartphone yang diberikan
para orang tua kepada anaknya terkadang justru menjadi boomerang yang tak disadari. Kemudahannya dalam mengakses berbagai
konten membuat anak justru hilang kendali. Entah penggunaan digunakan untuk
mengakses hal-hal positif atau hal-hal negative tak sedikit orang tua yang tak ingin
ambil pusing, selama dirasa gerak-gerik anak masih dapat mereka pantau.
Disinilah peran
para orangtua atau peran keluarga terhadap anggota keluarganya. Ayah dan ibu
berperan untuk mengedukasi kepada anak-anaknya. Seorang kakak berhak memantau
penggunaan sosial media adiknya ataupun sebaliknya. Diperlukanlah interaksi untuk saling bertukar pendapat
dan wawasan tentang berbagai hal. Diantaranya tentang penggunaan internet yang
baik dan bermanfaat. Termasuk tidak lekas percaya terhadap suatu berita,
apalagi informasinya mengandung nuansa kebenciaan atau SARA.
Yang berperan
untuk menumpas dan mencegah konten hoax selanjutnya adalah teman atau
lingkungan. Ya, seorang teman atau lingkungan tidak hanya berperan untuk
membentuk karakter seseorang. Teman, kawan atau sahabat juga berperan untuk
membantu mengawasi temannya dalam kasus tersebarnya hoax.
Antara kawan
yang satu dan lainnya perlu untuk bertukar wawasan tentang informasi apapun
yang mereka dapatkan. Lalu berdiskusi bila dirasa penting dan sensitive untuk
sama-sama mempelajari dan mengenal apakah benar informasi tersebut nyata atau
hanya isu burung semata.
Lantas bagaimana
jika seorang teman sudah terlanjur basah menyebarkan konten hoax? Yang perlu
dilakukan oleh temannya adalah menegurnya, menasihati bahwa apa yang
dilakukannya salah. Tentu dengan etika yang baik agar dia tidak merasa
tersinggung atau merasa tersudutkan. Karena boleh jadi dia melakukannya karena
kurang wawasan dan gegabah dalam bertindak. Disinilah pentingnya sosok teman
dalam membantu pencegahan hoax.
Next, guru dan sekolah adalah yang
berperan dalam pencegahan informasi bohong. Yang perlu dilakukan oleh sekolah
dan guru adalah memberikan pendidikan dan konsep seputar dunia internet,
mengajak penggunaan internet yang sehat, dan memberikan arahan tentang
bagaimana cara mengenal konten hoax yang kini menyebar. Edukasi bisa
disampaikan dengan melampirkan buletin pada mading sekolah ataupun mengadakan kelas
terbuka di setiap sekolah kepada para murid atau mahasiswanya tentang
antisipasi dan cara mencegah informasi palsu.
Dan terakhir,
yang sangat berperan demi tercapainya visi untuk mencegah segala konten palsu
adalah peran pemerintah. Perannya adalah mengedukasi masyarakat tentang program
anti berita hoax, seminar cara mencegah dan menghadapi konten hoax yang
diadakan secara bergilir di setiap wilayah, serta menayangkan iklan di televisi
dan media sosial tentang UUD ITE dan hukuman bila menyebarkan hoax. Sehingga setiap orang akan lebih awas dalam bertindak.
Itulah sedikit ulasan tentang
siapa dan apa saja peran yang perlu dilakukan untuk mencegah segala konten
hoax.
Terimakasih
Tulisan ini dimuat dalam rangka blog competition yang diadakan oleh C2live.com
Sumber:
- https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20161230125808-185-183096/asal-mula-situs-hoax-berkembang-di-indonesia
- https://www.jawapos.com/read/2017/01/07/100597/sejarah-fenomena-berita-hoax-di-indonesia
- https://tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/berapa-jumlah-pengguna-internet-indonesia
0 comments